Ad Astra Per Aspera

Ia mampu menghiasi kerimbunan tamannya dengan bunga-bunga dari segala warna dan bentuk. Setiap langkahnya diiringi oleh semilir angin yang mengusung aroma alam yang memikat hati. Laksana sedang memainkan sihirnya, pohon-pohon memunculkan berbagai jenis buah yang tak pernah ada sebelumnya, muncul dari sebidang lahan tandus yang masih kosong di dalam taman hanya dengan lirikan. Di mana pun ia menapak dan di setiap benda yang ia sentuh, segalanya menjadi memikat dan lebih hidup. Matanya biru seperti bintang-bintang yang terhampar di langit sebagai kanvasnya. Ia hadir ke dunia melalui namanya yang indah, Aoilanne.

Sambil menghela napas, aku berbaring di hamparan rumput hijau di samping Aoilanne. Ranselku bersandar pada pohon ek raksasa yang berumur ratusan tahun, bayangannya menyelimuti kami dalam ketenangan kanopi rindang. Dalam jarak yang begitu dekat dengan jurang, panorama alam membentang sejauh mata memandang, terselubung dalam kabut putih.

“Kamu sangat beruntung. Aku bahkan tidak bisa menumbuhkan satu pun tumbuhan di kotak jendelaku,” keluhku.

Tawa lucu Aoilanne bergema, mengungkapkan sentuhan keindahan yang tersembunyi dalam penampilannya yang sederhana. Meski lembut dan singkat, aku bisa merasakan suatu melodi.

“Aku bersungguh-sungguh. Tidak satu pun!” ungkapku penuh kesal.

Aoilanne bangkit dengan anggun, mengulurkan tangan untuk memetik dua apel merah ranum langsung dari dahannya. Dengan mata yang berbinar, ia melemparkan sebuah apel ke arahku sambil menyimpan satu untuk dirinya sendiri.

Aoilanne bertanya dengan penasaran, “Apakah kamu sudah memberi pupuk?”

“Yah, asal kamu tahu, aku mungkin tidak sengaja mengabaikan seluruh urusan pemupukan selama musim berbunga,” aku mengakuinya sambil menggaruk kepalaku dengan sedikit malu. “Hei, tapi jangan khawatir, aku sempat memupuknya.”

Aoilanne tidak bisa menahan tawanya, suaranya mengisi hatiku dengan kebahagiaan. Namun, perasaan itu cepat berlalu ketika aku hilang dalam renungan, mendapati diriku sebagai anak kecil lugu yang terpesona menatap cakrawala biru. Hal ini mengungkapkan bahwa hanya segelintir waktuku yang telah disalurkan untuk hal-hal yang benar-benar bermakna. Tiba-tiba, beban kesadaran ini membuatku bergidik ketakutan. Kami saling berpandang secara batin, menyampaikan pemahaman mendalam tanpa bertukar sepatah kata. Dua jiwa yang saling bertautan – seorang pendaki kesepian yang mengembara dari universitas dan seorang wanita pecinta alam.

“Kamu sebaiknya datang dan berkebun untukku,” tawar Aoilanne dengan lembut.

Kini, mustahil bagiku untuk memperdaya bisikan lubukku lagi, karena aku tahu pasti jawabannya. Walaupun diriku seakan tak sanggup mengumpulkan kekuatan untuk memberi tahu Aoilanne. Ia sendiri telah memperingatkan bahwa ia tidak bisa meninggalkan tempat ini yang ia anggap sebagai rumah. Tidak sekalipun ia memberiku kesempatan untuk mendengar alasannya. Semenjak itu, aku kehilangan keinginan untuk mengetahuinya.

“Aku tidak bisa meninggalkanmu, Aoilanne. Aku hanya tidak bisa,” ujarku bisu.

Usai menempuh pendidikan perguruan tinggi dengan gelar sarjana dalam studi aerodinamika, keberuntungan membawaku untuk mendapat posisi di sebuah firma teknik yang berdekatan dengan taman nasional tempat Aoilanne tinggal. Pekerjaan ini memungkinkan aku untuk menuruti hasrat mempelajari kerumitan mekanisme pesawat terbang dan keajaiban dunia penerbangan. Kendati demikian, setiap akhir pekan, isi otakku selalu melayang pada Aoilanne tercinta, memanggilku untuk mengunjunginya. Sepanjang masa dewasaku, kerinduan yang amat dalam telah menemukan kedudukannya di dalam sanubariku. Senyuman terlintas di wajahku saat memikirkan momen bahagia yang akan kami ciptakan setiap harinya. Namun, takdir mendikte bahwa pertemuan kami hanya terbatas pada akhir pekan singkat itu saja.

Tempat Aoilanne berada tidak pernah dilanda gemuruh badai atau hempasan angin liar. Kami tidak pernah benar-benar berkencan secara harfiah, tidak pernah pula aku membuat langkah pertama untuk bertanya kepadanya mengenai hubungan kami, karena itu bukan termasuk hakku ataupun haknya. Aoilanne adalah sahabat dan segalanya bagiku, meski perbedaan usia kami yang cukup signifikan tidak bisa disangkal. Terlepas dari itu, kami meraih kenyamanan dalam kehangatan satu sama lain. Ini merupakan bukti kekuatan hubungan yang tulus tanpa syarat.

Aoilanne merancang tamannya dengan penuh dedikasi hingga mencapai tahap yang jauh melampaui definisi konvensional sebuah taman. Seiring berjalannya waktu, desain ekosistem yang ia kembangkan berubah menjadi permadani hijau yang melimpah, dihiasi semak-semak berbunga dan pepohonan megah yang disusun secara cermat membentuk pola geometris dan fraktal yang memukau. Rumahnya merupakan perpaduan harmonis antara akar-akar merambat dan cabang pepohonan berbonggol yang begitu rapat. Tak sebulir pun embun dapat menembusnya. Keunikan taman ini menjadi surga pribadi bagi Aoilanne. Elemen paling menarik adalah rangkaian pohon yang menjelma sebagai jam matahari. Namun, ada kalanya, ia sengaja menyulut tamannya dalam nyala api yang membara, mengubahnya menjadi panggung pertunjukan warna-warni yang membakar sekitarnya. Sampai saat ini, aku tidak menggubris alasan Aoilanne melakukan itu.

Tak seorang pun mengetahui rahasia kami. Semakin usia kami bertambah, aku pergi meninggalkan Aoilanne. Keluargaku tinggal di kota seberang yang berjarak puluhan mil. Di sana, aku harus mengambil alih bisnis keluarga agar tetap berjalan, menyerap kepadatan serta hiruk-pikuk perkotaan tempatku tumbuh besar. Setelah Ibuku wafat, Ayah memaksaku untuk pulang. Keputusan untuk terpisah dari Aoilanne bukanlah pilihan yang mudah, tetapi aku memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang tidak bisa kuhindari. Pada awalnya, aku mengira hanya menetap selama sebulan saja di sana. Jadi, aku pergi menemuinya.

“Aku akan kembali dalam sebulan,” janjiku pada Aoilanne, sementara matahari menerangi rambut pirangnya yang memancarkan kilauan bagai air terjun yang deras.

“Apakah kamu berjanji?” ucap Aoilanne tersayang dalam kekhawatiran.

“Aku berjanji,” balasku dengan lantang, seorang pendaki di hutan.

Aku tidak kembali selama bertahun-tahun. Mungkin saja aku melupakan, jika memang tidak ada sesuatu yang mampu menandingi keindahan sosok Aoilanne. Barangkali itulah yang ada di dalam alur pemikiranku saat aku menyaksikan rembulan, tiga puluh tahun kemudian, ketika aku telah tua dan dirasuki oleh kelemahan. Barangkali itulah kerinduanku yang terpendam di bawah alam bawah sadar, bahwasannya garis hidup menyatakan diriku kesepian. Namun, aku meneguhkan tekad untuk menjadi pendaki sekali lagi.

Kawat berduri mengelilingi rumah Aoilanne bersama dengan perasaan tidak nyaman yang menusuk hatiku. Saat aku memanggilnya, suaraku disambut oleh keheningan yang mencekam, hanya disela oleh gemerisik pepohonan. Di sepanjang kawat tersebut, terdapat tanda peringatan yang menegaskan untuk menjauhi properti yang dimiliki oleh pemerintah.

“Bagaimana bisa mereka menemukan tempat ini, terletak menjulang tinggi, dekat dengan surga dan langit tak berujung?” gumamku.

Dengan waspada, aku melompati pagar ke taman Aoilanne yang sempurna. Tidak ada yang berubah dalam pola susunannya. Sambil menggenggam satu buket seruni, aku gemetar dalam ketidakpastian.

“Aoilanne, kekasihku, ia masih di sini!” teriakku dalam mulut yang tak bergeming.

Semoga masih terukir dalam ingatannya tentang diriku. Berlarilah aku menuju rumahnya, rumput meregang di bawah langkahku. Sementara itu, aku terus bertanya, "Aoilanne! Aoilanne, di sini aku!" Dan benar saja, ia masih ada di sana. Kerangkanya beristirahat dengan tenang di atas kasur. Terlihat meja yang masih rapi dan bunga-bunga bermekaran. Amarah memuncak di dalam diriku. Tanpa kusadari, aku terbirit-birit ke hutan dengan air mata berlinang, ketakutan melanda dadaku. Tubuhnya dalam pelukanku seperti saat kita masih muda. Kabut mengalir di dasar tebing ketika Aoilanne dalam dekapanku, berharap padanya akan satu keindahan lagi. Dirinya tetap membara bak api unggun, tetapi terasa sejuk saat disentuh. Namanya adalah Aoilanne. Ketika ia berpindah alam, hujan turun di Eden.